SBY-JK Pisah : Strategi atau Realita
Oleh : Y.K Manjaya Ismail
Berita
media sangat mengejutkan, ketika JK didatangi oleh para kadernya
seluruh DPD TK I Partai Golkar untuk memberikan kepastian bahwa JK harus
maju sebagai Capres. Peristiwa ini tidak disangka sebelumnya, mengingat
Partai Golkar sudah komitmen membicarakan Capres setelah pemilu
legislative. Awalnya, ketika Rapat Pimpinan Golkar di Jakarta baru-baru
ini hanya mengagendakan strategi pemenangan Pemilu Legislatif. Namun
berkembang menjadi penjagalan terhadap ketua umum untuk menjadi Calon
Presiden.
Dalam
kontek politik Indonesia, kultur masyarakat Indonesia rentan terhadap
komitmen. Banyak peristiwa-peristiwa yang permanent menjadi broken
akibat strategi politik yang kurang matang. Peristiwa partai Golkar ini
adalah bagian dari sebuah proses inkonsisten politik santun. Untuk
mencermati hal tersebut baiklah kita lihat proses politik di Partai
Golkar dan sangat menarik untuk diamati secara rasional.
Awalnya,
pasangan SBY-JK berkomitmen akan setia menjadi pasangan sampai 2014
dengan strategi melakukan pengamanan kekuasaan politik masing-masing
dalam otorita partainya. Partai Demokrat memegang teguh berkomitmen
tidak akan memunculkan Capres dan Cawapresnya sebelum pemilu
llegeslatif. Begitu juga Partai Golkar berjanji tidak akan memunculkan
Capres dan Cawapresnya sebelum pemilu legeslatif. Dengan harapan
pasangan intim SBY-JK dapat bersanding kembali pada pemilu Presiden
ditahun 2009 ini.
Tapi
perkembangan politik dan memanasnya kondisi politik menjadikan pola dan
strategi tersebut menjadi amburadur. Ditubuh partai Golkar terjadi
gesekan kompetisi politik yang sangat besar dengan adanya desakan dari
beberapa kadernya untuk memunculkan tokoh-tokoh kadernya menjadi
Presiden, sebut saja hal ini seperti Akbar Tandjung, Sri Sultan, Yudhi
Krisnandi, Padel Muhammad dan lain-lainnya. Imbas dari gerakan tersebut
akhirnya memunculkan adanya desakan JK dicalon menjadi Presiden.
Demikian
hal juga dengan partai Demokrat, gejolak partai politiknya terjadi
gerakan bawah tanah, dimana SBY sebagai pendiri partai mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap eksistensi partai Demokrat. Hal tersebut
mengakibatkan partai Demokrat selalu bergerak dalam kondisi yang mandul
tanpa kreatifitas yang ujungnya adalah salah ucap salah satu pimpinan
partai yang menyinggung koleganya partai Golkar dengan ucapan “2,5 %”.
Hal inilah dalam konteks burst politik (ledakan politik) anti kalimak
kekecewaan kader atas kebijakan partainya.
Dengan
adanya dua peristiwa ditubuh partai besar tersebut timbul beberapa
pertanyaan yang besar di masyarakat. Apakah memang partai Golkar dan
Partai Demokrak sudah pisah kongsi atau memang hanya sebuah strategi
para pemimpin partainya untuk selalu mengakomodir kekuatan partainya.
Apabila ditinjau dari teori politik. Sebuah partai politik yang tidak
bersemangat atau partai yang dirinya merasa besar melupakan kerja keras
dan tidak ada tantangan. Partai akan bekerja keras atau bersemangat
kembali apabila ada tantangan. Challenge itu adalah berupa konflik atau
ancaman dari luar. Apabila dikaitkan dengan teori tersebut maka konflik
Partai Golkar dan Partai Demokrat hanya sebuah strategi.
Mengapa
sebuah strategi, hal tersebut dapat dilihat saat ini SBY dan JK
sama-sama melihat partainya atau mesin politiknya tidak jalan dan
beberapa hasil survey dinyatakan bahwa partai Golkar dan Demokrat akan
turun perolehan suaranya. Tidak ada jalan lain yang saat ini
masing-masing Pembina dan ketua umumnya harus bekerja keras mencari
strategi mendokrat suara. Dengan adanya konflik antara partai Golkar dan
Partai Demokrat menjadikan kedua partai dapat memacu perolehan suaranya
menjadi lebih baik. Dan ini menurut logika para kader di daerah, akibat
perpecahan ini menjadikan keamanan partainya akan terganggu di ranah
kekuasaan.
Berbeda
apabila yang terjadi, jika SBY dan JK tidak sepaham dengan indicator
dilapangan adalah SBY mencalonkan diri menjadi Presiden dengan pasangan
Cawapresnya si X dan disah secara legal partai tanpa ada perubahan yang
signifikan lagi terhadap resistensi politik dan begitu juga partai
Golkar sudah menentapkan calon Presidennya dan Wakilnya maka itu baru
namanya “Realita” terjadi persaingan yang kuat antara SBY dan JK. Tapi
semua ini tidak dapat memberikan kepastian yang jelas karena masih ada
teori politik lagi yaitu tidak ada kawan dan musuh yang abadi yang ada
hanya kepentingan. Maka kesimpulannya sekarang ada ditangan SBY dan JK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar