Rabu, 23 Januari 2013

SBY-JK Pisah : Strategi atau Realita

SBY-JK Pisah : Strategi atau Realita Oleh : Y.K Manjaya Ismail



Berita media sangat mengejutkan, ketika JK didatangi oleh para kadernya seluruh DPD TK I Partai Golkar untuk memberikan kepastian bahwa JK harus maju sebagai Capres. Peristiwa ini tidak disangka sebelumnya, mengingat Partai Golkar sudah komitmen membicarakan Capres setelah pemilu legislative. Awalnya, ketika Rapat Pimpinan Golkar di Jakarta baru-baru ini hanya mengagendakan strategi pemenangan Pemilu Legislatif. Namun berkembang menjadi penjagalan terhadap ketua umum untuk menjadi Calon Presiden.



Dalam kontek politik Indonesia, kultur masyarakat Indonesia rentan terhadap komitmen. Banyak peristiwa-peristiwa yang permanent menjadi broken akibat strategi politik yang kurang matang. Peristiwa partai Golkar ini adalah bagian dari sebuah proses inkonsisten politik santun. Untuk mencermati hal tersebut baiklah kita lihat proses politik di Partai Golkar dan sangat menarik untuk diamati secara rasional.

Awalnya, pasangan SBY-JK berkomitmen akan setia menjadi pasangan sampai 2014 dengan strategi melakukan pengamanan kekuasaan politik masing-masing dalam otorita partainya. Partai Demokrat memegang teguh berkomitmen tidak akan memunculkan Capres dan Cawapresnya sebelum pemilu llegeslatif. Begitu juga Partai Golkar berjanji tidak akan memunculkan Capres dan Cawapresnya sebelum pemilu legeslatif. Dengan harapan pasangan intim SBY-JK dapat bersanding kembali pada pemilu Presiden ditahun 2009 ini.

Tapi perkembangan politik dan memanasnya kondisi politik menjadikan pola dan strategi tersebut menjadi amburadur. Ditubuh partai Golkar terjadi gesekan kompetisi politik yang sangat besar dengan adanya desakan dari beberapa kadernya untuk memunculkan tokoh-tokoh kadernya menjadi Presiden, sebut saja hal ini seperti Akbar Tandjung, Sri Sultan, Yudhi Krisnandi, Padel Muhammad dan lain-lainnya. Imbas dari gerakan tersebut akhirnya memunculkan adanya desakan JK dicalon menjadi Presiden.

Demikian hal juga dengan partai Demokrat, gejolak partai politiknya terjadi gerakan bawah tanah, dimana SBY sebagai pendiri partai mempunyai pengaruh yang kuat terhadap eksistensi partai Demokrat. Hal tersebut mengakibatkan partai Demokrat selalu bergerak dalam kondisi yang mandul tanpa kreatifitas yang ujungnya adalah salah ucap salah satu pimpinan partai yang menyinggung koleganya partai Golkar dengan ucapan “2,5 %”. Hal inilah dalam konteks burst politik (ledakan politik) anti kalimak kekecewaan kader atas kebijakan partainya.

Dengan adanya dua peristiwa ditubuh partai besar tersebut timbul beberapa pertanyaan yang besar di masyarakat. Apakah memang partai Golkar dan Partai Demokrak sudah pisah kongsi atau memang hanya sebuah strategi para pemimpin partainya untuk selalu mengakomodir kekuatan partainya. Apabila ditinjau dari teori politik. Sebuah partai politik yang tidak bersemangat atau partai yang dirinya merasa besar melupakan kerja keras dan tidak ada tantangan. Partai akan bekerja keras atau bersemangat kembali apabila ada tantangan. Challenge itu adalah berupa konflik atau ancaman dari luar. Apabila dikaitkan dengan teori tersebut maka konflik Partai Golkar dan Partai Demokrat hanya sebuah strategi.

Mengapa sebuah strategi, hal tersebut dapat dilihat saat ini SBY dan JK sama-sama melihat partainya atau mesin politiknya tidak jalan dan beberapa hasil survey dinyatakan bahwa partai Golkar dan Demokrat akan turun perolehan suaranya. Tidak ada jalan lain yang saat ini masing-masing Pembina dan ketua umumnya harus bekerja keras mencari strategi mendokrat suara. Dengan adanya konflik antara partai Golkar dan Partai Demokrat menjadikan kedua partai dapat memacu perolehan suaranya menjadi lebih baik. Dan ini menurut logika para kader di daerah, akibat perpecahan ini menjadikan keamanan partainya akan terganggu di ranah kekuasaan.

Berbeda apabila yang terjadi, jika SBY dan JK tidak sepaham dengan indicator dilapangan adalah SBY mencalonkan diri menjadi Presiden dengan pasangan Cawapresnya si X dan disah secara legal partai tanpa ada perubahan yang signifikan lagi terhadap resistensi politik dan begitu juga partai Golkar sudah menentapkan calon Presidennya dan Wakilnya maka itu baru namanya “Realita” terjadi persaingan yang kuat antara SBY dan JK. Tapi semua ini tidak dapat memberikan kepastian yang jelas karena masih ada teori politik lagi yaitu tidak ada kawan dan musuh yang abadi yang ada hanya kepentingan. Maka kesimpulannya sekarang ada ditangan SBY dan JK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar