Rabu, 23 Januari 2013

Solusi Perbedaan 1 Syawal di Indonesia

Apabila kita melihat perbedaan 1 Syawal yang ditetapkan oleh Pemerintah RI, banyak tanggapan yang miring ditujukan kepada Pemerintahan. Dampak tersebut, menjadikan posisi Pemerintah bisa dibilang seperti buah simalakama, diikuti salah, dibiarkan juga salah. Persoalan ini satiap tahun selalu menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai. Bagaimana menyikapi ini ? adakah solusinya ? dan mengapa ini bisa terjadi.
Kami mencoba mencari refrensinya untuk mencari solusinya. Seperti yang diungkapkan Ormas Pusat Studi dan Da’wah Islam (Pusda’i) Fahma Kabupaten Kutai Timur, Kaltim  bahwa Ru’yah global bisa menjadi tambahan referensi sebagai jalan tengah menyikapi perbedaan penetapan 1 Syawal di Indonesia. Oleh karena itu, wacana tersebut perlu dijajaki secara serius, arif, dan dengan pikiran terbuka (open minded).
Dalam  penjelasannya dikatakan bahwa pada dasarnya telah ada konsensus universal dalam hasil konferensi Islam di Istambul tahun 1978.  Dalam konferensi tersebut, dihasilkan tiga keputusan penting terkait penanggalan Islam.
Pertama, sentral penanggalan Islam adalah Mekkah Al Mukarramah. Kedua, hasil ru’yatul hilal di suatu negeri berlaku untuk seluruh dunia. Ketiga, Saudi Arabia wajib menghimpun informasi dari berbagai penjuru dunia dan dilanjutkan menyebarkannya ke seluruh dunia pula.
Prinsip yang harus diperhatikan adalah ru’yatul hilal bersifat global. Artinya, bila di suatu negara di dunia telah terlihat hilal, maka penetapan awal bulan baru berlaku pula untuk seluruh dunia.
“Dalam hal ini, Istikmal (penggenapan bulan menjadi 30 hari, red) hanya berlaku ketika tidak ada informasi apapun tentang terlihatnya hilal. Hal ini bisa terjadi karena minimnya teknologi, kesulitan medan geografis, atau terputusnya akses informasi,” katanya.
Karena itu ketika ada informasi yang valid tentang terlihatnya hilal, walaupun tidak terlihat di negara tersebut, maka berlaku pula untuk negara yang tidak melihatnya. Hal tersebut sesuai yang dicontohkan Rasulullah adalah membatalkan puasa dan melakukan shalat pada keesokan harinya. Hal ini menjadi sangat penting karena puasa pada 1 Syawal haram hukumnya.
Dengan adanya ru’yah global, suatu negara tidak harus bersikukuh untuk melihat langsung keberadaan hilal hanya di negaranya (ru’yah lokal). Padahal ketika hilal sudah berada di atas ufuk, walaupun belum genap dua derajat, besar kemungkinan di negara lain sudah bisa terlihat.
Contoh konkretnya, hasil ru’yah di Malaysia yang melihat terbitnya hilal di 30 titik tanggal 29 Agustus 2011. Padahal di Indonesia pemerintah menyatakan belum melihat hilal di seluruh titik pengamatan.
Diharapkan dengan mengikuti hasil konferensi Islam di Istambul pada tahun 1978, maka tidaka ka nada lagi perbedaan penetapan 1 Syawal di Indonesia. 
Demikian penjelasan ini disampaikan, semoga bisa menjadi masukan para pengambil kebijakan untuk menentukan 1 Syawal dan diharapkan tidak ada lagi perbedaan diantara umat muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar