Apabila
kita melihat perbedaan 1 Syawal yang ditetapkan oleh Pemerintah RI,
banyak tanggapan yang miring ditujukan kepada Pemerintahan. Dampak
tersebut, menjadikan posisi Pemerintah bisa dibilang seperti buah
simalakama, diikuti salah, dibiarkan juga salah. Persoalan ini satiap
tahun selalu menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai. Bagaimana
menyikapi ini ? adakah solusinya ? dan mengapa ini bisa terjadi.
Kami mencoba mencari refrensinya untuk mencari solusinya. Seperti yang diungkapkan Ormas
Pusat Studi dan Da’wah Islam (Pusda’i) Fahma Kabupaten Kutai Timur,
Kaltim bahwa Ru’yah global bisa menjadi tambahan referensi sebagai
jalan tengah menyikapi perbedaan penetapan 1 Syawal di Indonesia. Oleh
karena itu, wacana tersebut perlu dijajaki secara serius, arif, dan
dengan pikiran terbuka (open minded).
Dalam
penjelasannya dikatakan bahwa pada dasarnya telah ada konsensus
universal dalam hasil konferensi Islam di Istambul tahun 1978. Dalam
konferensi tersebut, dihasilkan tiga keputusan penting terkait
penanggalan Islam.
Pertama, sentral penanggalan Islam adalah Mekkah Al Mukarramah. Kedua, hasil ru’yatul hilal di suatu negeri berlaku untuk seluruh dunia. Ketiga, Saudi Arabia wajib menghimpun informasi dari berbagai penjuru dunia dan dilanjutkan menyebarkannya ke seluruh dunia pula.
Prinsip yang harus diperhatikan adalah ru’yatul hilal bersifat global. Artinya, bila di suatu negara di dunia telah terlihat hilal, maka penetapan awal bulan baru berlaku pula untuk seluruh dunia.
“Dalam hal ini, Istikmal
(penggenapan bulan menjadi 30 hari, red) hanya berlaku ketika tidak ada
informasi apapun tentang terlihatnya hilal. Hal ini bisa terjadi karena
minimnya teknologi, kesulitan medan geografis, atau terputusnya akses
informasi,” katanya.
Karena
itu ketika ada informasi yang valid tentang terlihatnya hilal, walaupun
tidak terlihat di negara tersebut, maka berlaku pula untuk negara yang
tidak melihatnya. Hal tersebut sesuai yang dicontohkan Rasulullah adalah membatalkan puasa dan melakukan shalat pada keesokan harinya. Hal ini menjadi sangat penting karena puasa pada 1 Syawal haram hukumnya.
Dengan
adanya ru’yah global, suatu negara tidak harus bersikukuh untuk melihat
langsung keberadaan hilal hanya di negaranya (ru’yah lokal). Padahal
ketika hilal sudah berada di atas ufuk, walaupun belum genap dua
derajat, besar kemungkinan di negara lain sudah bisa terlihat.
Contoh
konkretnya, hasil ru’yah di Malaysia yang melihat terbitnya hilal di 30
titik tanggal 29 Agustus 2011. Padahal di Indonesia pemerintah
menyatakan belum melihat hilal di seluruh titik pengamatan.
Diharapkan
dengan mengikuti hasil konferensi Islam di Istambul pada tahun 1978,
maka tidaka ka nada lagi perbedaan penetapan 1 Syawal di Indonesia.
Demikian
penjelasan ini disampaikan, semoga bisa menjadi masukan para pengambil
kebijakan untuk menentukan 1 Syawal dan diharapkan tidak ada lagi
perbedaan diantara umat muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar