Oleh: Habib Y.K.M. Ismail Al-Banjari
(makalah ini dikutip dan dirangkum dari berbagai sumber)
Pengertian Bahasa
Khilafah
menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi'il madhi khalafa,
berarti: menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390).
Makna khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang
setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jâ'a ba'dahu fa-shâra
makânahu) (Al-Mu'jam al-Wasith, I/251).
Dalam
kitab Mu'jam Maqayis al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan
dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang
pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam ath-Thabari, makna
bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a'zham (penguasa
besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan
penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari,
I/199). Imam al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah
khilafah kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung
(az-za'amah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh umat,
pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka
(Al-Qalqasyandi, Ma'atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, I/8-9).
Pengertian Syar'i
Dalam
pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang
menggantikan Nabi Saw dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah
al-Islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa
awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah
digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi,
1980:226).
Pemahaman
ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika
mereka berbicara tentang "Khilafah" atau "Imamah". Dengan demikian,
walaupun secara literal tak ada satu pun ayat al-Qur'an yang menyebut
kata "ad-dawlah al-Islamiyah" (negara Islam), bukan berarti dalam Islam
tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para
ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem
pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu
istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (lihat Dr. Sulaiman
ath-Thamawi, As-Sulthat ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah az-Zuhaili,
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, IX/823).
Hanya
saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika
memandang kedudukan Khilafah (manshib al-Khilafah). Sebagian ulama
memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi),
yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang
berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham
al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai
penampakan agama (al-mazh-har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan
urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan
atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan mu’amalah (seperti
perdagangan), al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah),
dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua
penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan
mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah
(Al-Khalidi, 1980:227).
Sebenarnya
banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para
ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah yang
telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), dan
Al-Baghdadi (1995): Pertama, menurut Imam al-Mawardi (w. 450 H/1058 M),
Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan
pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam as-Sulthaniyah, hal. 3).
Kedua,
menurut Imam al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan
yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang
berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam
kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Ghiyats al-Umam, hal. 15).
Ketiga,
menurut Imam al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti
bagi Rasulullah Saw oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan
hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti
oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah ath-Thawali', hal.225).
Keempat,
menurut ‘Adhuddin al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah adalah
kepemimpinan umum (riyasah 'ammah) dalam urusan-urusan dunia dan agama,
dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam
penegakan agama (I'adah al-Khilafah, hal. 32).
Kelima,
menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan
umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi Saw dalam
penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati oleh
seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif, III/603; Lihat juga Rasyid
Ridha, Al-Khilafah, hal. 10).
Keenam,
menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan
seluruh (urusan umat) sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam
kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang
kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah (Al-Muqaddimah, hal. 166
& 190).
Ketujuh,
menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan
umum (wilayah 'ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat,
serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma'atsir al-Inafah fi Ma'alim
al-Khilafah, I/8).
Kedelapan,
menurut Al-Kamal ibn al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah
otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin (Al-Musamirah fi
Syarh al-Musayirah, hal. 141).
Kesembilan,
menurut Imam ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam
al-a'zham (imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti kenabian,
dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila
Syarh al-Minhaj, VII/289).
Kesepuluh,
menurut Syah Waliyullah ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah
kepemimpinan umum (riyasah 'ammah)… untuk menegakkan agama dengan
menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan
jihad…melaksanakan peradilan (qadha'), menegakkan hudud…sebagai
pengganti (niyabah) dari Nabi Saw (dikutip oleh Shadiq Hasan Khan dalam
Iklil al-Karamah fi Tibyan Maqashid al-Imamah, hal. 23).
Kesebelas,
menurut Syaikh al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti
(niyabah) dari Nabi Saw dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum
muslimin (Tuhfah al-Murid 'Ala Jauhar at-Tauhid, II/45).
Keduabelas,
menurut Muhammad Bakhit al-Muthi'i (w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh
al-Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan
agama (I’adah al-Khilafah, hal. 33).
Ketigabelas,
menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada
masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi Saw dalam
pelaksanaan apa yang dibawa Nabi Saw berupa hukum-hukum syariah Islam
(Mawqif al-Aql wa al-'Ilm wa al-'Alim, IV/363).
Keempatbelas,
menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum
dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi Saw
(Tarikh al-Islam, I/350).
Analisis Definisi
Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu :
Pertama,
definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har
ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam
dalam pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun
Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan dunia dan urusan
agama, namun pada akhir kalimat, beliau menyatakan, "Khilafah lebih
utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama."
Kedua,
definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har
as-siyasi). Di sini Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran
Islam berupa pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang
umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi "urusan dunia" (umûr
ad-dunya). Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung
Khilafah sebagai kekuasaan umum (wilayah 'ammah) atas seluruh umat,
tanpa mengkaitkannya dengan fungsi Khilafah untuk mengatur "urusan
agama".
Ketiga,
definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazh-har
ad-dini) dan penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Misalnya
definisi Khilafah menurut Imam al-Mawardi yang disebutnya sebagai
pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia.
Dengan
menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita dapati
bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi
realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik) —misalnya adanya
dikotomi wilayah "urusan dunia" dan "urusan agama"— daripada sebuah
definisi yang bersifat syar'i, yang diturunkan dari nash-nash syar’i.
Selain itu, definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jâmi'ah).
Sebab definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang
bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah, bukan
dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan
contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya
ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmu-ilmu agama,
menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan
(qadha'), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini
menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap
hakikat Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang
cakupannya justru sangat luas. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur
"umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin". Atau bahwa Khilafah
mengatur "kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah". Bukankah
ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya?
Sesungguhnya,
untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami lebih
dahulu, apakah ia definisi syar'i (at-ta'rif asy-syar'i) atau definisi
non-syar'i (at-ta'rif ghayr asy-syar'i) (Zallum, 1985:51). Definisi
syar'i merupakan definisi yang digunakan dalam nash-nash al-Qur'an dan
as-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang definisi non-syar'i
merupakan definisi yang tidak digunakan dalam nash-nash al-Qur'an dan
as-Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu tertentu atau kalangan
ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi'il, dan harf (dalam ilmu
Nahwu-Sharaf). Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat,
kebangkitan, ideologi (mabda'), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah
(peradaban), madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya
Jika
definisinya berupa definisi non-syar'i, maka dasar perumusannya
bertolak dari realitas (al-waqi'), bukan dari nash-nash syara'. Baik ia
realitas empirik yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep
yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya
berupa definisi syar'i, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari
nash-nash syara' al-Qur'an dan as-Sunnah, bukan dari realitas. Mengapa?
Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, definisi syar'i
sesungguhnya adalah hukum syar’i, yang wajib diistimbath dari nash-nash
syar'i (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyah, III/438-442; Al-Ma’lumat li
asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan definisi syar'i, misalnya
definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib merujuk pada
nash-nash syar'i yang berkaitan dengannya.
Apakah
definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syar'i? Jawabannya,
ya. Sebab nash-nash syar'i, khususnya hadits-hadits Nabi Saw, telah
menggunakan lafazh-lafazh "khalifah" dan "imam" yang masih satu akar
kata dengan kata Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, "Jika dibaiat
dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." [Shahih
Muslim, no. 1853]. Imam al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan
hadits-hadits tentang Khilafah dalam Kitab al-Ahkam. Sedang Imam Muslim
dalam Shahihnya telah mengumpulkannya dalam Kitab al-Imarah (Ali Belhaj,
1991:15). Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita
memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan Khilafah.
Dengan
menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash al-Qur'an,
akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat dicari rujukannya pada 2
(dua) kelompok nash, yaitu:
Kelompok
Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia.
Kelompok
Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu: (1)
tugas menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas mengemban
dakwah Islam di luar tapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat
dengan jalan jihad fi sabilillah
Nash
kelompok pertama, misalnya nash hadits, "Maka Imam yang (memimpin) atas
manusia adalah (bagaikan) seorang penggembala dan dialah yang
bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)." [Shahih Muslim,
XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan at-Tirmidzi, no.
1705, IV/308]. Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan
(ri'asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah
bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi
yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin
seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 1853). Ini berarti,
seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin seorang khalifah
saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin
di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad,
rahimahumullah (Lihat Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib
al-Arba'ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah
fi Ikhtilaf al-A'immah, hal. 208).
Nash
kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah,
yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut:
Pertama,
tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh
rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas
khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu
muslim (Qs. al-Baqarah [2]: 188; Qs. an-Nisâ' [4]: 58), mengumpulkan dan
membagikan zakat (Qs. at-Taubah [9]: 103), menegakkan hudud (Qs.
al-Baqarah [2]: 179), menjaga akhlaq (Qs. al-Isrâ' [17]: 32), menjamin
masyarakat dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai
ibadat (Qs. al-Hajj [22]: 32), dan seterusnya.
Kedua,
tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad
fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas
khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (Qs.
al-Baqarah [2]: 216), menjaga tapal batas negara (Qs. al-Anfâl [8]: 60),
memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut
oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian
perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik,
dan semisalnya (Qs. al-Anfâl [8]: 61; Qs. Muhammad [47]: 35).
Berdasarkan
dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara
lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum
bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum
syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi
inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1398
H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah (hal. 1),
kitab Muqaddimah ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab
Asy-Syakshiyyah al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau juga,
istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama
saja menurut pengertian syar'i (al-madlul asy-syar'i).Definisi inilah
yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka
sudi kiranya untuk mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya
menjadi realitas di muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler
yang kufur saat ini. Pada saat itulah, orang-orang beriman akan merasa
gembira dengan datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu,
sungguh, tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla. [Khilafah1924 Online]
Daftar Pustaka
Ad-Dimasyqi,
Muhammad ibn Abdurrahman (Qadhi Shafd). 1996. Rahmatul Ummah fi
Ikhtilaf Al-A`immah. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Baghdadi,
Abdurrahman. 1995. “Mafhum Al-Khalifah wa Al-Khilafah fi Al-Hadharah
Al-Islamiyah”. Majalah Al-Khilafah Al-Islamiyah. No 1 Th I. Sya’ban 1415
H/Januari 1995 M. (Jakarta : Al-Markaz Al-Istitiratiji li Al-Buhuts
Al-Islamiyah).
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz V. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. (Kuwait : Darul Buhuts Al-‘Ilmiyah).
Anis,
Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jam Al-Wasith. (Kairo : Darul Ma’arif).
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz III
(Ushul Al-Fiqh). (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
----------.1953.
Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb
Al-Tahrir). ----------. 1963. Al-Ma’lumat li Asy-Syabab. (t.tp. : t.p.).
----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur. (t.tp. : t.p.).
Ath-Thamawi,
Sulaiman. 1967. As-Sulthat Ats-Tsalats fi Ad-Dasatir Al-Arabiyah
al-Mu’ashirah wa fi Al-Fikr As-Siyasi Al-Islami. (Kairo : Darul Fikr
Al-‘Arabi).
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Cetakan I. (Damaskus/Beirut : Darul Fikr).
Belhaj,
Ali. 1991. Tanbih Al-Ghafilin wa I’lam Al-Ha`irin bi Anna I’adah
Al-Khilafah min A’zham Wajibat Hadza Ad-Din. (Beirut : Darul ‘Uqab).
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).
Zallum, Abdul Qadim. 1985. Hizb Al-Tahrir. (t.tp. : t.p.).
Last Updated ( Thursday, 22 December 2005 )