Puasa
Ramadan tidak terasa hampir berakhir, apabila kita amati bangsa
Indonesia sangat mematuhi tradisi lebaran dengan pulang mudik kampung
atau secara krennya adalah “pulang kampung halaman”.
Perjalanan pulang kampung bagi masyarakat Indonesia sangat menarik
karena dilakukan oleh dari para pejabat tinggi Negara sampai kepada
masyarakat berstatus sosial rendah, mereka beramai-ramai merayakan hari
lebarannya dikampung kelahirannya.
Sebagai contoh, sebut saja seorang perantau yang bekerja di salah satu kementerian yang dekat kekuasaan negara. Namanya Yakob KM Ismail Al-Banjari, aslinya atau kelahirannya adalah di kabupaten kotabaru pulau laut Kalimantan Selatan. Bersama-sama dengan seluruh keluarganya pulang kampung halaman dengan menempuh perjalanan berjam-jam untuk sampai ditempat tujuan.
Sebagai contoh, sebut saja seorang perantau yang bekerja di salah satu kementerian yang dekat kekuasaan negara. Namanya Yakob KM Ismail Al-Banjari, aslinya atau kelahirannya adalah di kabupaten kotabaru pulau laut Kalimantan Selatan. Bersama-sama dengan seluruh keluarganya pulang kampung halaman dengan menempuh perjalanan berjam-jam untuk sampai ditempat tujuan.
Dalam
perjalanan tersebut, terasa melelahkan memang tapi dalam kenyataannya
ada sesuatu yang sangat menyenangkan yaitu dinikmati dengan niat kuat
dan ikhlas dalam keinginan untuk berkumpul bersama keluarga, akhirnya
dalam perjalanan itu terasa menyenangkan dan menggembirakan. Mengapa
peristiwa ini terjadi dan apa maknanya, mari kita telusuri makna lebaran
itu. Secara harfiah, Lebaran atau Idul Fitri bermakna hari suci, sering
diartikan hari kembali sucinya jiwa-jiwa umat Muslim setelah
menjalankan puasa dan berbagai rangkaian ibadah sebulan penuh selama
Ramadan.
Di Indonesia, perayaan Idul Fitri memiliki kekhasan tersendiri. Hari raya Idul Fitri yang sering diistilahkan dengan “lebaran” ini tidak saja menjadi milik umat Muslim secara eksklusif, tapi telah menjadi kultur bangsa yang unik. Dua istilah yang sering kita dengar, baik secara verbal, tertulis di kartu lebaran, maupun gejala beberapa tahun belakangan ini melalui pesan pendek di telpon seluler kita adalah “minal aidin wal faizin” dan “halal bi halal”. Dua frasa bahasa Arab itu, konon tak ditemukan dalam kultur Arab sendiri. Istilah yang lebih sering dipakai dalam budaya Arab adalah ungkapan “kullu aam wa wantum bi khair” (Semoga sepanjang tahun Anda dalam keadaan baik-baik), atau “taqabbalallahu minna wa minkum” (Semoga Allah menerima amal kami dan Anda) [Qaris Tajudin; 2006].
Selain
itu, masyarakat lebih sering menyebut hari raya ini dengan istilah
“Lebaran”, sebuah istilah yang khas bangsa Indonesia. Bukan saja secara
istilah, rangkaian tradisi menyambut hari raya di Indonesia juga unik,
sebut saja misalnya tradisi mudik, mengunjungi kampung halaman dan bersilaturrahmi kepada orang tua, sanak famili, guru, serta handai taulan.
J.J.
Rizal pernah menulis dalam sebuah artikel yang sangat menarik tentang
tradisi lebaran. Sejarawan muda ini mengungkapkan, istilah Lebaran,
tidak saja berdimensi religi, tapi sekaligus sosial-budaya- politik.
Istilah yang dipopulerkan oleh orang Betawi ini --sepadan dengan
istilah Jawa Syawalan atau Bada— direproduksi
terus dalam kultur bangsa lebih dari 80 tahun sejak waktu itu. Sejarah
mencatat, sejak tahun 1927 istilah tersebut telah dipakai. Pada tahun
1929, Lebaran dijadikan momentum politik yang penting, Java Bode
untuk pertama kalinya mempelopori sembahyang Idul Fitri di lapangan
terbuka Konengslein (sekarang Gambir), Jakarta. Para tokoh pergerakan
nasional menjadikannya ajang pertemuan dan menguatkan semangat rakyat,
sekaligus menghayati penderitaannya.
Di awal masa revolusi kemerdekaan, dimana Belanda datang lagi, keadaan negeri ini sangat terancam. Sementara itu terjadi polarisasi dan perpecahan yang sangat hebat diantara bangsa Indonesia sendiri. Keadaan memprihatikan dan rakyat terjepit. “Sejumlah tokoh di bulan puasa 1946 menghubungi Soekarno. Mereka minta agar ia bersedia di hari raya yang jatuh pada Agustus itu, mengadakan perayaan ‘Lebaran’ dengan mengundang seluruh komponen revolusi yang pendirian politiknya beraneka macam, dan kedudukannya dalam masyarakat pun berbeda-beda. Biar Lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan memaklumi serta menerima keragaman”. (J.J. Rizal; Tempo 5 Nov 2006) Dari eksplorasi yang singkat ini, bagi kultur kebangsaan kita, bisa dipastikan, bahwa istilah Lebaran memiliki makna yang kuat dan mendalam tentang kemenangan merajut pluralitas bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar